Surat Keputusan Pembentukan Pengadilan

  1. PP Nomor 45 Tahun 1957
  2. Keppres Nomor 11 Tahun 2003

DASAR HUKUM

  1. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945 yang telah di amandemen dikatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan peradilan Agama, Lingkungan peradilan Militer dan Lingkungan Peradilan  Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut khusus Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman, sebagai respon terhadap penyesuaian tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkmah Agung.
  2. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
  3. Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, disebutkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada pasal 1 tersebut di atas, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
  4. Menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) adalah suatu lembaga yang resmi, sejajar dan setara dengan badan peradilan lainnya yang ada di Negara Republik Indonesia.
  5. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dinyatakan bahwa organisasi, administrasi dan finansial Mahkmah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Dengan demikian berdasarkan pasal tersebut lahirlah apa yang disebut dengan peradilan satu atap.
  6. Sementara itu dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan financial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam Undang-Undang sesuai dengan kekhususan Lingkungan peradilan masing-masing” sebagai realisasi dari pasal tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 8  Tahun 2005 tentang Peradilan Umum sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2005 tentang peradilan Tata Usaha Negara sebagai penyempurnaan dari dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

AWAL PEMBENTUKAN

Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) adalah suatu lembaga publik servis dalam suatu penegakan hukum dan keadilan yang bertugas melaksanakan sebagian kekuasaan kehakiman untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera serta memiliki kesadaran hukum yang tinggi.

Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam  adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang  Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Jo Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.

Gedung Kantor Lama Mahkamah Syar’iyah Meulaboh

Mahkamah Syar’iyah pada hakekatnya adalah pengembangan dari Pengadilan Agama dengan perubahan kewenangan yang meliputi perkara jinayat. Perubahan nama Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah, Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Aceh  adalah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003.

Sesuai Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003 Pengadilan Agama yang ada di Provinsi  Aceh  diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah. Pasal 1 ayat (3) Keputusan Presiden Republik Indonesia Tahun 2003, Pengadilan Tinggi Agama yang ada di Provinsi NAD diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD.

Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi peradilan disebutkan dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

Sebagaimana tersebut sebelumnya Mahkamah Syar’iyah mempunyai ciri khusus dalam kewenangan sebagaimana tersebut dalam pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsyiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai   bidang ahwal al-syakhsyiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

Berkaitan dengan kewenangan tersebut dikuatkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/070/SK/X/2004 Tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Dari Peradilan Umum Kepada Mahkamah Syar’iyah Di Provinsi  Aceh, yang kemudian dikuatkan dengan berita acara serah terima kewenangan mengadili sebagian perkara-perkara yang berdasarkan syariat Islam antara Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi  Aceh  dengan disaksikan Ketua Mahkamah Agung RI tanggal 11 Oktober 2004.

Dari peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas jelaslah kewenangannya (kompetensi absolut) Mahkamah Syar’iyah. Dalam praktek untuk melaksanakan kewenangan (kompetensi absolut) tersebut setiap Mahkamah Syar’iyah juga mempunyai kompetensi relatif (wilayah hukum/yurisdiksi) masing-masing.

Dengan perubahan perundang-undang tersebut, maka badan Peradilan Agama setelah bergabung dengan Mahkamah Agung ditangani oleh Direktorat Jenderal, perubahan ini tentu akan membawa konsekwensi yang luar biasa terhadap pengembangan dan pengelolaan Peradilan Agama kedepan, baik dari segi organisasi, administrasi dan finansial, maupun sarana serta prasarananya.

Perubahan dari Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah

Di era reformasi, semangat dan keinginan untuk melaksanakan syari’at Islam kembali menggema dikalangan rakyat Aceh, di samping tuntutan referendum yang juga disuarakan oleh sebahagian generasi muda pada waktu itu.

Para Ulama dan Cendikiawan muslim semakin insentif menuntut kepada Pemerintah Pusat, agar dalam rangka mengisi keistimewaan Aceh dan mengangkat kembali martabat rakyat Aceh supaya dapat diizinkan dapat menjalankan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya 2 (dua) Undang-undang yang sangat penting dan fundanmental, yaitu :

  1. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
  2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Masyarakat Aceh menyambut baik lahirnya kedua Undang-undang tersebut dengan penuh rasa syukur, sehingga selanjutnya Pemerintah Daerah bersama DPRD pada saat itu, segera pula melahirkan beberapa peraturan Daerah sebagai penjabaran dari kesempatan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut. Sekaligus untuk mewarnai secara nyata Keistimewaan Aceh yang sudah lama dinanti-nantikan tersebut, antara lain :

  1. PERDA Nomor 3 Tahun 2000 tentang pembentukan Organisasi dan Tata  Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU);
  2. PERDA Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam;
  3. PERDA Nomor 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan ;
  4. PERDA Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat ;

Pada tahun 2001 Pemerintah Pusat kembali mengabulkan keinginan rakyat Aceh memndapatkan Otonomi Khusus melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang tersebut diundangkan dalam lembaran Negara pada tanggal 9 Agustus 2001. lahirnya Undang-undang tersebut terkaitk erat dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistemewaan Aceh, yaitu dalam upaya membuka jalan bagi pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat dibumi Serambi Mekah.

Salah satu amanat dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut adalah diberikan peluang dan hak bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional (Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001).

Di bidang lainnya, untuk menyahuti kelahiran Undang-undang tersebut secara keseluruhan, Pemerintah Daerah melalui SK Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam telah membentuk beberapa tim untuk segera menyusun Rancangan Qanun (sekitar 27 Qanun) dalam melaksanakan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. salah satu diantaranya adalah tim Penyusunan Qanun Syari’at Islam  yang dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (belum berubah menjadi MPU), Dr Muslim Ibrahim, M.A.

Tim tersebut dibagi lagi kepada beberapa sub tim antara lain :

  1. Tim Rancangan Qanun tentang Mahkamah Syar’iyah, diketuai oleh Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH.
  2. Tim Rancangan Qanun Pelaksanaan Syari’at Islam dibidang ibadah dan syi’ar Islam, dipimpin oleh Dr. H. Muslim Ibrahim, M.A.
  3. Tim Rancangan Qanun Baitul Mal dipimpinn oleh Prof. Dr. H. Iskandar Usman, M. A.

Tim telah menyusun Rancangan Qanun Mahkamah Syar’iyah dalam waktu kurang dari 2 (dua) bulan, dan setelah melakukan expose dihadapan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam bersama Tim-Tim lainnya, akhirnya Rancangan Qanun tersebut ditetapkan dengan judul : Rancangan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ”Tentang Peradilan Syari’at Islam”, yang terdiri dari 7 Bab dan 60 Pasal. Setelah disempurnakan, Rancangan Qanun diserahkan kepada Gubernur c/q Biro Hukum untuk diteruskan ke DPRD Nangggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya pada tanggal 19 November 2001 Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyampaikan Rancangan Qanun Peradilan Syari’at Islam tersebut bersama Rancangan Qanun lainya kepada DPRD Nanggroe Aceh Darussalam.

Sekitar bulan Maret 2002 Pimpinan Mahkamah Agung RI menugaskan tiga orang Ketua Muda Mahkamah Agung RI ke Aceh, yaitu :

  1. H. Suharto, SH, -TUADA DATLIS ;
  2. H. Syamsuhadi, SH., M. Hum. – TUADA UDILAG ;
  3. H. Toton Suprapto, SH. TUADA ADAT ;

Mereka ingin mengetahui lebih jauh bagaimana sebenarnya upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam menindaklanjutii amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 untuk pembentukan Mahkamah Syar’iyah (pertemuan dilaksanakan di rumah Wakil Gubernur : Ir. H. Azwar Abubakar).

Pada kesempatan lainnya. Untuk menyempurnakan rumusan Rancangan Qanun tentang Peradilan Syari’at Islam, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh atas bantuan USAID, dan bekerjasama dengan Forum Keprihatian Rakyat Aceh (FORKA), telah pula dilaksanakan Semiloka di Jakarta dari tanggal 8 s/d 10 Maret.

Selanjutnya Rancangan Qanun tersebut juga diberikan kritikan demi penyempurnaan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat di Banda Aceh, seperti Yayasan/Ukhuwah dan PPHIM.

Untuk membahas Rancangan Qanun yang diajukan Gubernur tersebut, maka DPRD Nanggroe Aceh Darussalam membentuk beberapa Pansus, antara lain : Pansus XV yang diberi tugas antara lain, mendalami/membahas Rancangan  Qanun Peradilan Syari’at Islam. Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap pansus XV dari tanggal 2 s/d 7 September 2002 mengadakan konsultasi antara lain dengan Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Agama RI, Mahkamah Agung RI dan beberapa orang anggota DPR-RI asal Aceh (FORBES) di Jakarta.

Selanjutnya pada tanggal 23 oktober 2002, Tim Pemerintah Daerah Aceh yang dipimpin oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Ir. H. Abdullah Puteh, M. Si., mengadakan rapat konsultasi dangan Mahkamah Agung RI dan departemen terkait. Rapat konsultasi berlangsung di Aula Mahkamah Agung RI dipimpin langsung Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, dengan didampingi oleh wakil Ketua Drs. H. Taufiq, SH dalam pertemuan tersebut telah disepakati beberapa hal :

  1. Mahkamah Agung berharap agar Mahkamah Syar’iyah di Aceh segera terwujud dan dapat diresmikan pada tanggal 1 Muharram 1424 H;
  2. Pembentukan Mahkamah Syar’iyah adalah tugas eksekutif, karena itu diharapkan Menteri Dalan Negeri dapat mengkoordinir pertemuan-pertemuan dengan Departemen terkait dan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.

Menindaklanjuti hasil pertemuan tersebut tanggal 23 Oktober 2002, Tim Pemerintah Pusat yang dikoordinir Departemen Dalam Negeri mengadakan pertemuan dengan Tim Pemerintah Daerah Aceh pada tanggal 27 Januari 2003. rapat tersebut dipimpin langsung oleh Sekjen Departemen Dalam Negeri yaitu Dr. Ir. Siti Nurbaya.

Pada pertemuan tersebut, Tim dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari Departemen/Lembaga terkait, seperti Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan HAM, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, Pertahanan dan Keamanan dll., telah berhasil merumuskan beberapa kesepakatan, antara lain :

  1. Peresmian Mahkamah Syar’iyah akan dilaksanakan di Banda Aceh pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003 M;
  2. Masing-masing Departemen/Lembaga mempersiapkan diri sesuai dengan bidang kewenangannya untuk peresmian Mahkamah Syar’iyah (Kelembagaanm Kewenagan, pembinaan sumber daya manusia, dll).
  3. menjelang hari H (4 Maret 2003) perlu adanya pertemuan lagi, yaitu :
  4. Tanggal 5 s/d 8 Februari 2003 Konsinyering Tim Pusat ;
  5. Tanggal 17 Februari 2003 Koordinasi Tim Pust dengan Daerah ;
  6. Tanggal 27 s/d 28 Februari 2003 Cheking terakhir ;

Pada hari senin 24 Februari 2003, Tim Pusat dan Daerah kembali melanjutkan koordinasi di Jakarta (Depatemen Dalam Negeri). Tim Pemerintah Aceh yang dipimpin oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dengan anggota : Husni Bahri Tob, SH (Assisten I), H. Abdussalam Poroh (Sekretaris DPRD), Prof, Dr. Alyasa’ Abubakar, MA (Kadis Syari’at Islam), Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH (Ketua PTA Banda Aceh), A. Hamid Zein, SH (Kepala Biro Hukum Kantor Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam). Dalam pertemuan tersebut dibahas beberapa masalah substansi antara lain :

  1. Rancangan Kepres tentang Mahkamah Syar’iyah (perubahan Nama, Kewenangan, dll) akhirnya menjadi Kepres Nomor 11 Tahun 2003 ;
  2. Rancangan Peraturan Pemeritah tentang pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (sayang RPP tersebut tidak sempat dibahas karena sempitnya waktu);
  3. Beberapa masalah teknis untuk acara peresmian, (prasasti, peresmian Mahkamah Syar’iyah, Pelantikan Ketua, sambutan dll).

Pelaksanaan Peresmian Mahkamah Syar’iyah

Sesuai dengan rencana semula dan melalui proses persiapan yang panjang akhirnya peresmian Mahkamah Syar’iyah dapat dilaksanakan dalam suatu upacara yang dilangsungkan pada tanggal 1 Muharram 1424 H dan bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2003.

Sebagai dasar hukum peresmian Mahkamah Syar’iyah disaat itu adalah Kepres Nomor 11 Tahun 2003, yang pada hari itu dibawa langsung dari Jakarta dan dibacakan dalam upacara peresmian.

Adapun isi kepres tersebut antara lain adalah tentang perubahan nama Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi, dengan penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan secara bertahap.

Upacara peresmian dilaksanakan di Gedung DPRD Provinsi. NAD yang dihadiri oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NAD, beserta dihadiri oleh para Menteri dan Tim Pusat, yaitu :

  1. Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH;
  2. Menteri Dalam Negeri, Dr. (HC) Hari Sabarno, S.Ip, MM., MA ;
  3. Menteri Kehakiman dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra ;
  4. Menteri Agama, Prof. Dr. Said Agil Husin A-Munawar, MA ;
  5. Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggaraan Haji, H. Taufik Kamil ;
  6. Direktur Pembinaan Peradilan Agama, Drs. H. Wahyu Widiana ;
  7. Wasekjen MARI, Drs. H. Ahmad Kamil, SH, dll;
  8. Sedangkan dari Daerah Kabupaten/Kota, hampir semua Bupati/Walikota hadir bersama para Muspida.

Upacara peresmian ditandai dengan penandatangan prasasti, masing-msing oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan HAM, dan Meteri Agama RI.

Bersamaan dengan upacara peresmian tersebut, dilaksanakan pula pengambilan sumpah dan pelantikan Ketua-Ketua Mahkamah Syar’iyah Kab/Kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Setelah pelantikan para Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah se Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi pembekalan dan sosialisasi tentang eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Peresmian Operasional Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam

Meskipun telah diresmikan secara langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI pada tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003, namun Mahkamah Syar’iyah masih menemukan kendala untuk melaksanakan kewenangannya, khususnya dalam bidang jinayat, dimana kejaksaan sebagai penuntut umum belum memiliki dasar hukum untuk melakukan penuntutan ke Mahkamah Syar’iyah, karena dalam melaksanakan tugas fungsionalnya, kejaksaan berpedoman kepada KUHAP yang antara lain telah mengatur hubungan kerja Kejaksaan dengan Peradilan Umum dalam penyelesaian perkara pidana. Oleh karena itu lah Tim Interdep persiapan pembentukan Mahkamah Syar’iyah di pusat dan daerah mempersiapkan sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Naskah Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut diparaf oleh 9 anggota Tim dari Lembaga terkait, dan diteruskan ke Presiden oleh Menteri Dalam Neger (Menko Polkam ad Interm) dengan suratnya tanggal 19 Februari 2004 Nomor 180/404/SJ.

Pada tanggal 30 Maret 2004 Tim dari Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, masing-masing Drs. Soufyan M. Saleh, SH. Drs. H. Sayuti Is, MM. Prof. Dr. Alyasa Abubakar, MA. A. Hamid Zein, SH. Syahrul Ali, SH., MH dan Anwar Efendi, SH. Sesuai dengan surat penugasan dari Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (tanggal 27 Maret 2004, Nomor 019.3/0087) mengadakan audiensi dengan Kepala Biro Hukum Sekretariat Negara RI yang diterima oleh Bapak Sudibyo, SH (Direktorat Perundang-undangan), staf Ahli Mendagri dan Kepala Biro Hukum Skretariat Kabinet di Kantor Sekretariat Kabinet.

Dari audiensi tersebut dijelaskan, bahwa memang benar usulan draf RPP pelaksanaan Peradilan Syari’at Islam yang diajukan ke Presiden oleh Mendagri sudah diterima disekretariat Kabinet. Selanjutnya atas bantuan salah seorang staf Mendagri Tim audiensi depertemukan langsung dengan Menseskab Prof. Herman Rajagukguk, SH. Diruang kerjanya, bahwa sehubungan dengan permasalahan tersebut beliau menjelaskan, bahwa Insya Allah beliau akan mempelajari draf RPP tersebut dan dalam waktu akan dibahas oleh Tim Tehnis terkait Tim dari Aceh nanti juga akan diikut sertakan.

Setelah beberapa bulan menunggu, ternyata belum ada realisasi, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada bulan Juni 2004 menyurati kembali dan menanyakan ke Presiden sejauh mana sudah proses Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut menjadi Peraturan Pemerintah (Surat Gumbernur selaku PDSD tanggal 28 Mei 2004 Nomor : 330/23F-PDSD/2004).

Untuk itu Sekretariat Kabinet memberikan tanggapan terhadap usul Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu dengan suratnya tanggal 7 Meii 2004 antara lain disampaikan sebagai berikut :

  1. Tanggal 21 April 2004 telah dilakukan pertemuan di Sekretariat Kabinet yang dihadir oleh wakil-wakil dari Tim Interdep (Mahkamah Agung, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, dll).
  2. Disepakati oleh Tim Interdep bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut tidak diperlukan mengingat  substansinya telah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan termasuk mengenai pelaksanaan wewenang kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan pada Peradilan Syari’at  Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
  3. Kewenangan tersebut semakin jelas dengan adanya ketentuan Pasal 15 ayat (2) undang-undang Nomor 14 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Agama, dan merupakan Pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Menjawab surat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 28 Mei 2003, Sekretaris Kabinet dengan suratnya tanggal 10 Juni 2004 B.53/Waseskab/00/2004 memberikan penjelasan, yang isinya juga sesuai dengan surat penjelasan yang disampaikan Menko Bidang Politik dan Keamanan Ad Interm.

Jawaban dari Sekretariat Kabinet tersebut mementahkan kembali Rancangan Peraturan Pemerintah yang sudah disusun demikian matang oleh Tim Interdep, sehingga Tim penyembangan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kembali mengadakan rapat konsultasi terutama dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Gubernur Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si pada tanggal 29 Juli 2004, yang dihadiri oleh anggota Muspida dan Dinas terkait disepakati bahwa meskipun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dianggap tidak diperlukan oleh Sekretariat Kabinet, namun Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam tetap memperjuangkan kembali agar usul Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut agar disahkan menjadi Peraturan Pemerintah sebagai payung hukum bagi Kepolisian dan Kejaksaan di Nanggroe Aceh Darussalam.

Sambil memperjuangkan Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam akan mengundang Ketua Mahkamah Agung RI untuk meresmikan pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam yang sudah diresmikan satu setengah tahun yang lalu, dan peresmian tersebut direncanakan bersama dengan pembukaan PKA ke IV, yaitu tanggal 19 Agustus 2004.

Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didampingi oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Kepala Dinas Syari’at Islam dan Kepala Biro Hukum, pada tanggal 13 dan 16 Agustus 2004 mengadakan kosultasi dan menyampaikan Undangan kepada Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI menyatakan pada prinsipnya dapat mengabulkan harapan dan Undangan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, tapi tidak pada tanggal 19 Agustus 2004 karena bersamaan dengan hari ulang tahun Mahkamah Agung RI.

Dalam pertemuan konsultasi berikutnya atas undangan Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam disepakati bahwa peresmian operasional Mahkamah Syar’iyah akan dilaksanakan pada tanggal 11 oktober 2004 hari senin di Banda Aceh, dengan mata acara pokok antara lain :

–    Pembacaan Surat Keputusan Mahkamah Agung RI

–    Pembacaan Surat Keputusan Bersama Lembaga Penegak Hukum di Nanggroe Aceh Darussalam.

–    Penandatanganan Naskah Peresmian Operasional Mahkamah Syar’iyah.

Mahkamah Agung akan mengelurkan SK Ketua Mahkamah Agung tentang pelimpahan sebagaian kewenangan Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah. Adapun naskah peresmian dipersiapkan bersama-sama antara Tim Daerah dengan Tim Pusat.

Gedung Kantor Baru Mahkamah Syar’iyah Meulaboh

Alhamdulilah atas izin Allah SWT pada hari senin tanggal 11 Oktober 2004 acara peresmian operasional kewenangan Mahkamah Syar’iyah dilaksanakan di Anjong Mon Mata, yang dihadiri oleh Ulama, tokoh Masyarakat, Anggota DPRD tingkat I dan undangan lainya.

Dari Kabupaten/Kota hadir sebagian Bupati, Kapolres, Kajati, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Mahkamah Syar;iyah, Ketua MPU dan Kepala Dinas Syari’at Islam dll.

Dalam acara tersebut turut memberikan sambutan setelah laporan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam adalah Ketua Tim Interdep pembentukan Mahkamah Syar’iyah diwakili oleh (Drs. H. Syamsuhadi Irsyad, SH), wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Kapolri yang diwakili oleh Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepala Kejaksaan Agung yang diwakili oleh Kajati Nanggroe Aceh Darussalam, serta bimbingan pengarahan dan peresmian oleh Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan, SH.